Centre for Internet & Society

The Global Conference on Open Source, held on 26th and 27th of October, 2009 at the Shangri-La Hotel, Jakarta, Indonesia was organized by AOSI (Asosiasi open Source Indonesia) and was supported by the State Ministry of Research and Technology and the Ministry Communication Information Technology.

Open Source Cegah Pembajakan Dorong Kemandirian

KabarIndonesia - Free Open Source Sofware-FOSS akan menghapus jejak Indonesia dari ranah pembajakan software propriety yang dari pengguna komputer di Indonesia diperkirakan hanya 4% menggunakan software legal. 

"Dari kreatifitas para pengembang software, tak hanya kebutuhan office dan grafis saja, namun kedepan akan sangat memungkinkan bahwa hanya dengan FOSS keseluruhan pekerjaan bidang multimedia dan animasi bisa dikerjakan dengan berkualitas" kata Andi S. Boediman, pendiri International Design School sambil memberikan contoh bahwa film animasi
Big Bug Bunny adalah salah satu animasi yang dibuat dengan software open source blender.

Senada dengan Andi S. Boediman, adalah Gustaff Hariman Iskandar, pendiri komunitas kreatif Commonroom Bandung, Open source adalah solusi bagi pembajakan software propriety. Meskipun Gustaff juga memberikan catatan, bahwa jika open source mau jadi tuan rumah di Indonesia, maka harus ada peningkatan kecepatan akses internet, karena dalam pemakaian software open source, dibutuhkan koneksi internet yang stabil untuk mengupdate program yang dipakai.

Gustaff  memberikan pandangan, bahwa di kalangan komunitas kreatif di Bandung, pemakaian software bajakan sudah lumrah terjadi meskipun kini sudah banyak yang menggunakan sofware asli ataupun memanfaatkan FOSS. Dan ajang global Conference on Open Source-GCOS adalah salah satu program yang menurutnya harus menjadi momentum untuk 'membebaskan' masyarakat dari 'penjajahan' dominasi software berlicensi yang tentunya mahal bagi UKM. 

GCOS-Global Conference on Open Source yang digelar 26-27 Oktober lalu, mendapat apresiasi laur biasa dengan mendatangkan tamu dan pembicara dari berbagai negara. Sunil Abraham misalnya, pembicara pada asal India untuk sesi Making Opensource The Driver for Development, merasa terkesan dengan sambutan masyarakat dan pemerintah Indonesia yang luar biasa, bahkan telah terbentuk komunitas open source di Indonesia yang cukup besar sehingga dapat menyelenggarakan GCOS. Sunil, juga bangga dapat berbicara di forum internasional bersama pembicara lain yang menurutnya seperti berbicara di India, karena disini juga berhadapan dengan problem dan karakteristik masyarakat yang hampir sama, butuh software murah untuk saving cost.  

Open Source adalah sebuah fenomena, yang menurut Direktur Aptel ICT Depkominfo, Amalia Abdulah, bukan lagi alternative tapi pilihan. Dan kepentingan pemerintah adalah memfasilitasi, mendorong pemakaian software legal yang sesuai kemampuan daya beli masyarakat, bahkan gratis seperti free opensource software-FOSS.

Pasca surat edaran Menpan bulan maret 2009 lalu, sudah ada sekitar 100 lebih pemerintah daerah yang mengajukan permohonan untuk menggunakan open source dan Depkominfo Bersama KNRT [Kementerian Negara Riset dan
Teknologi] mengadakan pelatihan SDM mulai dari mengoperasikan software untuk perkantoran, sesuai kebutuhan administrative pemerintahan. 

Apa yang dilakukan dalam sinergi Depkominfo, KNRT, Depdiknas, Men PAN adalah sebuah komitmen, bahkan tertuang dalam program dimana pada Desember 2011 ditargetkan pengaplikasian open source di seluruh jajaran instansi dapat terwujud. Keinginan pemerintah tersebut bukan pula tanpa dasar, dengan isu utama dalam open source adalah low cost, mencegah
terjadinya pembajakan software, dan mampu memberikan keuntungan bagi Negara. KNRT misalnya yang secara bertahap mengaplikasikan open source sejak 2005, telah menghemat biaya pembelian licensi sebesar 40% dan bisa ditingkatkan menjadi 60%.  

Ternyata tak hanya menjawab kebutuhan kalangan UKM yang ingin berhemat memangkas biaya operasional namun tetap berada pada jalur legal, ternyata juga memberikan kontribusi penghematan anggaran bagi pemerintah Negara berkembang seperti Indonesia. 

Dengan memanfaatkan software open source yang bersifat terbuka dan bebas untuk dikembangkan, seharusnya juga menjadi motivasi bagi bangsa indonesia untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan software yang dibutuhkan dunia teknologi informasi, yang apada akhirnya dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.  

Pemerintah yang telah memulai aplikasi open source meski hanya berbekal surat edaran Men PAN, mungkin perlu meningkatkan komitmen dan dedikasinya dengan penerbitan regulasi lebih mengikat dan ’memaksa’ yang didalamnya tak hanya berisi himbauan, namun juga proteksi. 

Dan jika Depkominfo dan Depdiknas dapat bersinergi melalui program pendidikan open source, akan menjadi awal yang baik memperkenalkan dan mengajarkan open source sebagai sebuah wujud kemandirian bangsa yang tak lagi terjajah secara teknologi.  

Betty Alisjahbana dari AOSI [Asosisi Open Source Indonesia] dan Lolly Amalia selaku Direktur Sistem Informasi Ditjen Aptel Depkominfo, kedua belah pihak telah saling bertemu visi dengan 'keroyokan' melaksanakan GCOS secara bersama-sama, diantara kedua pihak telah ada kesepakatan saling membantu aplikasi Open Source di seluruh Indonesia. 

Untuk mengatasi kendala profesionalitas AOSI dalam memberikan layanan sebagaimana tuntutan kebutuhan saat ini, Betty bahkan sedang dalam proses mengorganisir kekuatan-kekuatan di dalam AOSI untuk bernaung didalam sebuah payung badan usaha profesional, jadi bukan lagi komunitas penghobi open source saja.  

Lebih jauh pandangan Onno W Purbo, penggiat open source, free open source software [FOSS]  harus menjadikan Indonesia sebagai 'Knowledge Based Society', menggunakan pengetahuannya untuk bisa berkarya. Dari pihak pemerintah, telah dicontohkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi (KNRT) dalam penerapan eGovernment secara menyeluruh dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien untuk meminimalisir korupsi di lingkungan pemerintahan.  

Dalam bincang-bincang dengan Ditjen Aplikasi dan Telematika Depkominfo Ashwin Sasongko, ia mengandaikan Free Open Source Software seperti air mineral yang bisa diambil gratis dari pegunungan, tapi distribusi dan pengemasannya bayar.

Sun Microsystems melaporkan  perkembangan potensi pengguna FOSS, sejak tahun 2008 telah terjaring komunitas OSS dari Java dengan lebih dari 15.000 pengguna dan hampir 10.000 pengadopsi pemula penggunaan OSS dari 150 perguruan tinggi serta 70 sekolah menengah. Tampaknya, aktifitas AOSI yang menyebarkan ribuan komputer dengan aplikasi FOSS ke
sekolah-sekolah mulai terlihat hasilnya.  

FOSS hadir menjadi solusi di tengah upaya menekan pembajakan software proprietary dengan memasyarakatkan software legal ,di sisi lain juga membangun susasana kompetitif di tengah usaha untuk membangun kemandirian bangsa.  

Link to original article

Filed under: